Selasa, 10 Mei 2011

Dulkarim, Kiai Modal Sendiri

Meski muncul di jaman doloe alias jadoel, tapi trergolong manusia langka. Saya masih ingat sosoknya. Lelaki tinggi kurus, berwajah tirus dan berkulit coklat gelap. Di kedua pipinya ada bekas-bekas jerawat. Tampilannya tak lepas dari sarung dan jas hitam setiap khutbah di masjid atau mengisi pengajian di mushala-mushala. Jas bukan untuk gagah-gagahan, tapi  --dugaan saya-- untuk melindungi dirinya dari hawa dingin. Ya, tokoh yang sering saya dengar dan cerna isi-isi khutbahnya semasa SMP itu bernama Abdul Karim. Orang biasa menyebut Kiai Dulkarim.

Ia berbeda dengan kiai-kiai lain di kampungku. Isi khutbah-khutbahnya kotekstual. apa yang lagi ngetren di kampung, diangkatnya jadi topik khutbah Jumat. Tentang perjudian ( judi puter, layang-layang, atau balap doro alias merpati ), kebobrokan kekuasaan, dan juga praktek-praktek muammalah yang menyimpang dari syariah Islam. Isi khutbahnya tentu membuat gerah para jamaah karena menyentuh langsung kehidupan masyarakatnya yang notabene jamaah jumat di masjid. Ia selalu menulis khutbahnya sendiri di buku tulis. Ini berbeda dengan khuthoba' yang lain, yang membaca apa yang sudah ditulis oleh kitab-kitab. Bisa dibeli di toko-toko. Dan anehnya, kitab khutbah itu berisi topik setahun. Jangan heran kalau tahun berikutnya sama persis bahasan dan isi topik tahun sebelumnya. Jangan heran pula kalau ada ustadz ahli judi yang biasa naik mimbar menjadi khotib ( Jumat, Idul Fitri dan Adha ) dan menjadi imam. Pernah ada jamaah yang menegur, "Lo, sampean itu biasa judi, tapi kok ngomong begitu di khutbah," ujar jamaah setengah takut. Apa jawab ustadz tersebut?
"Lo, yang saya sampaikan tadi sudah ditulis di kitab. Bukan isi hati saya. Saya sekadar menyampaikan," kilahnya.

Keunikan  --saya cenderung menyebutnya kehebatan-- Kiai Dulkarim karena ia membawa perangkat soundsystem sendiri. Maklum, ia tukang servis elektronik. Kemana-mana --naik sepeda unta-- dulkarim membawa soundsystemnya untuk memperkuat suaranya. Dan anehnya lagi, ia tidak pernah meminta bayaran dari jamaah maupun panitia-panitia yang mengundangnya ceramah. Apakah kiai yang berkacamata plus itu sudah kaya? Kaya hati memang iya, tapi tidak untuk kaya harta. Keikhlasannya luar biasa. Untuk menafkahi keluarganya cukup sebagai tukang service elektronik. Sementara, tausiah-tausiahnya gratisan. Berbeda dengan ustadz - ustadz jaman dulu yang tidak menerima pertanyaan-pertanyaan jamaah, kiai Dulkarim senang dengan pertanyaan jamaah.

Di usianya yang sudah tua, kiai Dulkarim berkurang penglihatannya, bahkan pada akhirnya buta sama sekali. Apakah ia berhenti berdakwah? Ternyata tidak. Ia masih mengisi ceramah-ceramah di masjid dan mushala. Hanya saja ia tidak berangkat sendriaian.Ada anak muda yang memboncengkannya. Dan dakwahnya berhenti hingga kaiai wafat.

Jika, dulu saya sulit menemukan kiai semacam beliau, maka kini lebih sulit lagi di tengah kepungan ideologi materialisme.