Senin, 25 April 2011

Amplop Tak Berstempel di Hari Libur

Apa bedanya amplop polos dengan amplop berstempel? Jawabnya bisa bermacam-macam. Namun, secara umum,amplop polos tidak mewakili ( milik ) siapapun atau instansi manapun. Siapapun boleh memiliki amplop polos, tapi tidak sembarang orang boleh memiliki amplop yang berstempel. Tak heran jika orang yang berhak memeroleh amplop berstempel, ternyata amplop polos yang diterimanya. Bisa protes karenanya. Dalam bentuknya yang halus, saya menerimanya siang tadi.

Usai shalat dhuhur saya masuk ruang kerja. Sebelum sampai di tempat duduk saya, saya diberhentikan salah satu karyawati. ( Ia anak dari khotib yang mengisi khutbah Jumat di kantor saya, kemarin ). Mau nanya jadwal khutbah hari libur dan amplop tak berstempel ya? ( Saya dapat laporan dari salah satu jamaah, bahwa khotib ini  protes mengapa diberi jadwal pas hari libur. Kedua, mengapa amplop bisyarohnya polos? )  Dengan tersenyum ia mengajak saya agak menepi. Menghindar dari telinga-telinga karyawan lain.
"Mengapa amplop yang Bapak terima tidak ada stempelnya?" tanyanya.
"Mas Prim lupa barangkali ( biasanya distempel karena belum ada kertas berkop masjid )."
"Biasanya kalau Jumat berapa uang tranportnya?" selidiknya kemudian.
"Sekian ratus ribu rupiah," jawab saya menyebut angka pasti. Angka ini cukup standar untuk ukuran transpor khotib wilayah Jakarta. 
Dengan tersenyum ia menjawab bahwa sebelumnya bapaknya menerima dua kali lipat lebih dari yang diterimanya Jumat kemarin.Dan amplopnya distempel waktu itu. Saya jelaskan bahwa honor segitu bukan untuk Jumtan, melainkan untuk ceramah di Hari-hari Besar Islam. Barulah ia paham. 

Oh iya, mengenai hari libur, ini bukan pengalaman pertama.Di masjid kantor saya kalau Jumat pas hari libur memang jamaahnya tidak sebanyak pada hari-hari kerja. Meskipun sebenarnya di ruang utama masjid bisa penuh karena masyarakat sekitar shalat di situ. Sebagian kecil karyawan juga tetap bekerja pada hari libur. Pengalaman yang hampir sama pada saat lebaran tempo hari. Saat itu Jumat, dan masjid kantor saya tetap menyelenggarakan shalat Jumat. Khotib meminta ditukar pada Jumat sebelum atau sesudah lebaran. Atau kalau tetap pada Hari Lebaran, ya merangkap sebagai khotib Idul Fitrilah.

Agak sulit untuk mengubah atau menggeser jadwal khutbah Jumat karena sudah saya susun setahun sebelumnya ( Acapkali saya belum bisa menentukan tanggal merahnya ) . Khotib lain juga memiliki jadwal khutbah setiap pekannya. Menggeser jadwal khotib yang satu, khotib lain tentu akan menggeser jadwal-jadwal di masjid lain. Dan tentu tidak bijak. Anehnya, dua khotibain ini jadwalnya mengikuti jadwal tahun sebelumnya. 

Pengalaman di atas mengingatkan saya pada Idul Adha sekitar 16  tahun lalu. Saat itu seorang teman yang tinggal di Vila Jati Rasa, Bekasi meminta saya menghubungi ustadz X. Ustadz ini masih muda, tampan, beberapa kali masuk penjara, kondang di kalangan ( pergerakan ) mahasiswa, khususnya, dan masyarakat Jabodetabek umumnya. Memang waktu itu yang ditanya bukan uang transpor, tapi jamaah yang bakal hadir. Saya bilang sekitar 1500 orang karena tempatnya di lapangan. Wah kurang efektif bagi saya. Terlalu sedikit, jawabnya.

Subhanallah. Saya tidak habis pikir, mengapa dakwah harus menunggu banyak? Apakah ada jaminan bahwa penerimaan ilmunya jauh lebih baik dan meresap yang banyak ketimbang yang sedikit? Atau, hal ini akan menambah popularitas dirinya? Saya jadi ingat guru saya, bahwa berapapun jamaah yang datang, dia tetap akan mengajarnya. Dan ini, menurut saya, da'i sesungguhnya. Wallahu a'lam bishshowab!